Perbaikan Saja Tidak Cukup

Sumber Foto: https://bekasi.inews.id/read/301811/jangan-libatkan-agama-dalam-urusan-politik-erman-suparno-tidak-boleh-ada-politisasi-agama

Oleh: K.H Abdurrahman Wahid

Buku ini dapat dibagi menjadi dua bagian yang sama penting. Pada bagian pertama dapat dilihat bagaimana sosok Erman Suparno sebagai seorang yang berangkat dari “titik nol,” dapat meniti karier sebagai manager/pelaksana dari sebuah perusahaan yang terkait dengan dunia bisnis Jepang. Lika-liku perjalanan hidupnya, membuat kita tertarik dengan bagaimana etika, kerja keras dan kesungguhan “mewarnai” perilaku para pelaksana di dunia bisnis Jepang itu.

Dari uraian yang digambarkan dalam buku ini, tidak tampak hal-hal yang biasa kita temui di kalangan para usahawan kita. Dunia usaha kita baru berjalan jika ada hubungan kekerabatan dan kedekatan dengan pengusaha pemerintahan. Sudah tentu hal ini “dilengkapi” dengan sogokan, tingginya ongkos-ongkos berusaha (sehingga ekonomi kita terkenal sebagai ekonomi berbiaya tertinggi/high cost economy, dan bentuk-bentuk favoritism yang lain. Tekanan lebih diberikan kepada penampilan dan “kebolehan” menarik hati orang lain. Sudah tentu dalam ekonomi yang “diatur” secara demikian, pertimbangan-pertimbangan rasional tidak begitu memperoleh tempat. Yang tidak tahu caranya menjilat atasan dan mendepak kawan sendiri, termasuk juga tidak mampu menekan bawahan, dianggap tolol.

Kalau sudah demikian ukuran-ukurannya, dapat saja kita bayangkan bahwa favoritism merajalela, dan nilai-nilai yang objektif akan hilang atau luntur dengan cepat. Kerja keras, kejujuran dan kesungguhan tidak mendapat tempat sama sekali dan dianggap sebagai “sifat-sifat batin” yang tidak sejalan dengan kriteria-kriteria kesuksesan dalam dunia bisnis.

Sangat umum anggapan bahwa seorang pengusaha atau manager/pelaksana usaha justru dianggap “bersalah” jika ia secara tekun ingin memajukan usahanya dengan cara-cara objektif dan alami. Sudah tentu, dalam keadaan demikian nilai-nilai yang digunakan lalu berubah menjadi sikap berpura-pura dan ditekankan pada upaya kosmetik untuk menyakinkan orang lain dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan akal sehat.

Berlainan dengan hal itu, dunia bisnis Jepang justru memperlihatkan kenyataan sebaliknya. Bagaimana orang seperti Erman Suparno harus menerapkan ukuran-ukuran objektif dan alami tersebut dalam mengelola profesinya, merupakan sesuatu yang sebenarnya penting diperhatikan. Bagaimana ia menjalani pendidikan di negeri Sakura itu, agar dapat menjadi “manager yang baik,” sebenarnya adalah cerita yang baik untuk diikuti dan diperhatikan dengan seksama.

Setelah kita mengalami kegoncangan demi kegoncangan di segala bidang, yang sering disebut sebagai masa reformasi, yang sebenarnya belum kunjung tiba itu, sangat menarik untuk diikuti sebagai sebuah perkembangan ekonomi dari suatu bangsa. Sayang, justru hal inilah yang sangat sedikit terdapat dalam buku ini. Namun, kenyataan ini dapat dipahami, bila kita lihat bahwa Erman kemudian meninggalkan dunia usaha (setidak-tidaknya menganggapnya bukan bagian utama dari kehidupannya, yang tampak dalam gambaran dari bagian kedua buku ini).

Jika Erman Suparno kemudian “lebih tertarik” pada dunia lain, yaitu politik praktis, diharapkan kemudian akan ada gambaran dan penjelasan mengenai kerja keras, kejujuran dan kesungguhan yang dibutuhkan untuk dapat meraih sukses dalam dunia bisnis Jepang dan yang bersandar kepada hal-hal objektif itu. Ini tentu ada harganya bagi kaum muda kita yang haus akan contoh-contoh yang sehat dari dunia bisnis itu.

Peranan manager/pelaksana sangat penting untuk diketahui sejauh mungkin oleh kaum muda kita di masa ini maupun di masa yang akan datang. Kita berharap, orang-orang seperti Erman Suparno akan bersedia dan mampu menuliskan hal-hal yang mereka alami selama ini. Apapun corak dan isi pengalaman yang diceritakan itu akan menjadi sesuatu yang sangat berharga bagi kita sebagai bangsa dalam meniti perubahan demi perubahan dengan baik dan selamat.

Bagian kedua buku ini lebih “diarahkan” kepada pengalaman Erman Suparno menjadi pemimpin masyarakat. Dimulai dari upaya “membenahi” keadaan NU dan PKB di Propinsi Riau hingga kepada keanggotaan dalam DPR RI memperlihatkan pengalaman dan suka duka Erman dalam lembaga terhormat itu. Ia yang terbiasa dengan kerja keras, kejujuran dan kesungguhan dunia usaha Jepang, terpaksa “mengelus dada” melihat praktek-praktek buruk dalam dunia politik praktis, yang diperlihatkan kawan-kawannya. Bahwa ia tidak pernah rnenggunakan kata-kata kasar dalam gambaran yang diberikannya melalui buku ini, tidak dapat menutupi kerisauan hatinya melihat kenyataan-kenyataan yang tidak diduganya dari semula itu.

Pergolakan dalam dirinya, karena hal-hal seperti itu juga terjadi dalam partai politiknya sendiri, membawakan “tuntutan” yang tersirat dalam gambaran Erman yang lugas dan sopan itu. Inilah yang seharusnya kita ketahui dan kita pahami dari apa yang digambarkannya dalam buku ini. Kalau kita lalui dan hanya tertarik kepada deskripsi/gambaran yang ada dalam buku ini tentang berbagai kejadian, termasuk yang menyangkut diri saya, hanya akan berhenti pada “pembahasan demi pembahasan” yang tidak mengubah keadaan. Ia akan menjadi bagian dari upaya para pemimpin politik praktis dari berbagai partai politik yang ingin melestarikan keadaan/mempertahankan status quo sistim politik kita yang serba pincang.

Di sini saya maksudkan menyinggung dua masalah saja, yaitu masalah penentuan para calon anggota badan legislatif kita dan peranan partai politik dalam sistim politik kita di masa depan.

Dalam hal penentuan para calon lembaga legislatif kita, peranan pimpinan partai politik di berbagai tingkatan haruslah dikurangi secara drastis. Menurut saya, daerah pemilihan (Dapil) kita harus diperkecil sehingga tiap Dapil hanya memiliki seorang saja anggota terpilih. Dalam lembaga legislatif kita sistim “pemilihan terbuka” ini haruslah berisi pertarungan yang ditentukan oleh para pemilih melalui sebuah pemilihan pendahuluan (primary), dengan sekian orang calon dari partai politik yang sama memperebutkan sebuah pencalonan saja. Dengan calon-calon dari berbagai partai politik lain yang mengikuti pola yang sama akan membuat para pemilih menentukan seorang calon saja dari sekian orang calon-calon sebuah partai politik.

Setelah terdapat beberapa orang calon terpilih dari berbagai partai politik yang turut serta, barulah dilakukan pemilihan yang sesungguhnya oleh para pemilih dari tiap Dapil. Dengan demikian, tiap Dapil hanya akan menghasilkan seorang anggota legislatif belaka, yang dilakukan oleh para pemilih dan tidak ditentukan oleh para pimpinan partai politik. Kita lihat George W. Bush Jr. dan John Kerry “merebut” pencalonan Presiden oleh partai politik masing-masing (Republik dan Demokrat) dalam pemilihan umum presiden di Amerika Serikat baru-baru ini.

Peranan masing-masing partai politik dalam sistim politik kita hendaknya di masa depan lebih menuju kepada aspek administratif yang mereka kelola. Partai politik merumuskan melalui kongres/muktamar masing-masing program hal-hal yang ingin dilakukan, jika memperoleh kepemimpinan negara. Hal ini kita kenal dengan nama platform politik. Di samping itu, setiap partai politik berkewajiban mengumpulkan suara para pemilih sebanyak-banyaknya dalam pemilihan umum untuk para calon masing-masing. Dengan demikian peranan para pemimpin partai politik akan menjadi lebih bersifat administratif, dan peranan politik akan lebih banyak berada di tangan para calon yang terpilih dalam pemilihan pendahuluan. Primary inilah yang akan membuat sistem-sistem politik kita akan lebih sehat dan memenuhi aspirasi rakyat di kemudian hari.

Dari uraian di atas tampak jelas masih banyak yang harus kita lakukan, sebelum pada akhirnya kita memiliki sebuah sistim politik yang sesuai dengan kebutuhan kita. Buku yang ada di tangan pembaca ini memberikan dorongan bagi kita untuk mencapai hal itu.