Tradisionalisme yang Diinginkan

Sumber Foto: https://kemenparekraf.go.id/hasil-pencarian/wisata-religi-ziarah-ke-makam-wali-songo-di-bulan-ramadan

Oleh: K.H Abdurrahman Wahid

HAMPIR tiap pagi sehabis sholat subuh, penulis harus bersalaman dengan para peziarah dari luar kota. Dua jam sebelum tulisan ini didiktikan, datanglah rombongan para peziarah dari Sukorejo, Pasuruan, berjumlah puluhan orang. Mereka sudah tiga malam berada di jalan, tidur di berbagai tempat. Sebelum bertemu dan bersalaman dengan penulis, mereka tidur dan melaksanakan sholat subuh di Masjid Al Munawarroh, Ciganjur. Ketika penulis bertanya rute mereka, mereka memberikan jawaban yang sudah diketahui sebelumnya oleh penulis, yaitu berziarah ke makam/ kuburan para Wali Sembilan (Wali Sanga) yang terletak di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat (Sunan Gunung Jati di Cirebon).

Sambil bergurau, penulis selalu menyatakan, “kalau begitu saya termasuk arsipnya Wali Sanga”. Ini selalu terjadi berulang kali sehingga sebenarnya penulis sendiri sudah bosan dengan ungkapannya sendiri tadi. Namun, ‘acara rutin’ itu terus menerus terjadi dan di antaranya juga ada rombongan yang memberikan uang kepada penulis, terkadang sampai berjumlah ratusan ribu rupiah. Selalu pula ‘hasil’ itu penulis bagikan kepada mereka yang berhak, seperti anak-anak yatim dan mereka yang mendukung penulis dalam melaksanakan tugas sehari-hari.

Terkadang timbul pertanyaan, ‘turisme agama’ seperti itu begitu sering terjadi dengan melibatkan begitu banyak orang, apa gunanya dilakukan? Tentu saja, kalau dilihat dari besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk menyewa kendaraan dan lain-lain keperluan, apakah ini tidak berarti pemborosan? Pertanyaaan seperti itu sering dikemukakan orang kepada penulis, Penulis selalu menjawab, dibutuhkan perspektif tersendiri dalam memandang hal itu, baru kita dapat memahaminya ‘secara benar’. Yaitu bahwa biaya yang dikeluarkan, kelelahan dan kekuatan fisik yang terjadi, hanya dapat dimengerti jika kita ingat ada kompensasi psikologis yang diperoleh para peziarah tersebut. Dalam kaitan seperti itulah, penulis menjawab sebuah pertanyaan, mengapa orang sampai menjual tanah untuk melakukan ibadah haji?

Bahwa orang membeli tanah secara berangsur-angsur disimpan beberapa puluh tahun dan kemudian dijual lagi jika harga tanah itu telah naik beberapa kali lipat, menunjukkan bahwa niatan melakukan ibadah haji sudah dikandung berpuluh-puluh tahun sebagai ‘sasaran hidup’ yang tidak pernah diucapkan, melainkan hanya untuk dilaksanakan. Kalau kita menggunakan alasan kejiwaan, yaitu memuaskan diri sendiri dengan melakukan hal itu, apakah bedanya dari ‘kebiasaan’ mengeluarkan biaya dan memaksa badan mengikuti kesebelasan sepak bola favorit di seluruh daratan Eropa? Apa gunanya melihat sendiri pertandingan yang berlangsung dan bersorak-sorai menyaksikan kemenangan kesebelasan favorit itu di lapangan hijau. Yang tidak mampu bepergian ke benua lain untuk melakukan hal yang sama, harus merasa ‘puas’ dengan nonton pertandingan yang diinginkan melalui layar televisi.

Lalu, mengapakah ziarah Wali Sanga itu dipertanyakan orang, sedangkan ‘kegemaran’ menonton pertandingan sepak bola tidak dianggap demikian. Tentunya, hal ini berhubungan dengan perbedaan status dan asal-usul mereka yang melakukannya. Karena menonton pertandingan sepak bola dilakukan oleh mereka yang dianggap modern, maka apa yang mereka lakukan itu sering disebut kegemaran (hobby), sedangkan para peziarah yang datang ke rumah penulis itu adalah orang kampung. Sebenarnya, dapat saja dilakukan tudingan jari kepada orang-orang yang beranggapan demikian, bahwa justru merekalah yang disebut sebagai ‘orang kampung’. Namun, karena mereka ‘bersembunyi’ di balik identitas diri yang modern, maka mereka tidak disebut orang kampung lagi. Bahkan penilaian itu kadang datang dari mereka yang mengajukan klaim sebagai ‘pengamat masyarakat yang harus didengar hal-hal yang diutarakannya.

Sebenarnya pertanyaan yang harus diajukan adalah, apa arti perbuatan itu dari sudut pandang perubahan masyarakat (social change) yang terjadi dalam kehidupan kolektif kita, sebagai bagian dari proses modernisasi yang terjadi di seluruh dunia sepanjang masa? Apakah yang harus dilepaskan, dan apakah yang harus dipertahankan? Pertanyaaan tersebut, seharusnya juga diikuti oleh sebuah pertanyaan lain: apakah yang cenderung kita pertahankan dalam proses tersebut?

Sudah tentu hal itu terkait dengan identitas diri kelompok (group identity) yang searah. Jawabannya dapat berbentuk macam-macam, tergantung dari pemahaman kelompok (group understanding) yang kita miliki. Ada orang yang menganggap suatu hal tidak perlu dilakukan, ada yang berpendapat pula sebaliknya. Di sinilah bobot soal pengamat/pemerhati ditentukan, bukan melihat kepada ijazah yang dimilikinya atau gelar yang dicapainya.

Apa yang dilakukan di atas, sebenarnya terkait sangat erat dengan jawaban atas sebuah pertanyaan lain: sebenarnya, kita menginginkan tradisionalisme berbentuk apa? Dan, bagaimanakah kita akan menjalani ‘perubahan-perubahan modern’ tersebut?

Hal inilah yang sebenarnya penulis maksudkan dengan tulisan ini. Yaitu, mengenal dengan sadar jenis tradisionalisme apa yang kita inginkan. Melihat lebih dari seratus ribu orang melakukan ibadah umrah setiap tahunnya ke tanah suci sebagai hasil dari pembiayaan yang asal-usulnya berbeda-beda. Hal itu tentu saja juga layak dipertanyakan. Ada yang membiayai ibadah tersebut dari hasil usaha sendiri yang halal dari berbagai profesi, ada pula yang membiayainya dari hasil korupsi.

Apakah kita melihat ibadah sebagai bentuk performa ritualistik belaka, yang bertumpu pada ‘keinginan’ asal diterima saja perilaku kita oleh Allah? Jika ini yang terjadi, maka ibadah adalah kebutuhan psikologis yang bersifat datar-datar saja. Memang apa yang dilakukan masih dapat disebut sebagai ibadah, tetapi sebenarnya ia tidak memiliki arti perubahan sosial sama sekali, dan ibadahnya hanyalah bersifat rutin belaka.

Sebaliknya, jika ibadah umrah yang dilakukan mengandung arti ‘penyucian’ diri kita yang bertumpu pada kebersihan biaya dan cara-cara melakukannya, berarti ibadah yang dilakukan tidak hanya bersifat rutinitas belaka. Yang terjadi dalam hal itu, ibadah mempunyai arti sosial dalam artian perubahan masyarakat, yang dalam jangka panjang akan mewujudkan apa yang dinamakan keadilan.

Jika ini yang terjadi, maka ibadah yang dimaksud memiliki dimensi perubahan sosial yang ‘harus’ dijalani oleh kaum muslimin. Ibadah lalu mempunyai multidimensi, yaitu sebagai pemuasan psikologis, dan pada saat bersamaan juga mengubah hidup kelompok menjadi masyarakat yang lebih luhur dan lebih mencapai tujuan. Di sinilah kita lalu berhak mengajukan klaim, pada akhirnya kita akan menuju kepada ‘negara yang baik, penuh pengampunan Tuhan’ (Baldatun tayyibatun wa rabbun gbafur). Jadi, pencapaian masyarakaat seperti itu, hanya akan terjadi jika kualitas ibadah kita juga ‘berubah’.

Sebenarnya, capaian seperti itu, seharusnya sangat mudah dilakukan, namun dalam kenyataan sulit diwujudkan. Apakah sebabnya? Karena manusianya sebagai individu juga telah berubah. Masyarakat sebagai kumpulan manusia, juga memiliki kelainan-kelainan yang dibawa oleh perubahan-perubahan anggota masyarakat secara perorangan. Cukup banyakkah warga masyarakat yang ibadah mereka berarti pula mengadakan perubahan sosial? Ataukah yang terbanyak justru mereka yang mencari pemuasan psikologis setelah menjalani peribadatan, tanpa mengakibatkan perubahan sosial sama sekali? Dengan jumlah mayoritas terbanyak seperti itu, memang agama Islam hanya akan menjadi ‘hiasan’ (ornamen) belaka, sedangkan agama-agama lain telah mencapai ‘kemajuan’ sangat besar dalam amal kebajikan (‘amal al khair) mereka. Sebagai umat yang mementingkan kebajikan itu, mereka telah membangun rumah-rumah sakit dalam jumlah besar, sekolah-sekolah bermutu tinggi dan pelayanan sosial yang sangat baik.

Berbagai kegiatan, seperti proyek dana sehat, kredit pedesaan dan pelestarian lingkungan dilakukan atas nama berbagai agama itu. Sedangkan sebenarnya kitab suci Al-Qur’an memerintahkan memperbanyak amal sholeh/saleh sebagai ‘bukti keislaman’ kita. Firman Allah SWT berbunyi: “Barang siapa menginginkan selain Islam sebagai agama, tidak diterima perbuatannya, dan ia akan termasuk orang yang merugi perdagangannya di akhirat kelak (Man yabtaghi ghaira al-Islami diinan fa lan yuqbala minbu wa huwa fi-al-akhirati min al khasirin).”

Jadi, orang-orang muslim saja yang beramal sholeh, sedangkan mereka yang tidak beragama Islam, dinyatakan beramal kebajikan. Jadi, sebenarnya amal sholeh itu mempunyai arti jauh lebih tinggi dari pada amal kebajikan. Tetapi, dengan hanya memusatkan diri pada peribadatan ‘murni’ yang tidak memiliki dimensi amal sholeh itu, maka orang beragama lain dalam kenyataan duniawi menjadi lebih baik dari pada kaum muslimin. Nah, tradisionalisme (kekolotan) pada bentuk luar ibadah tetapi memiliki arti dalam perubahan sosial, adalah tradisionalisme yang kita kehendaki. Sederhana saja soalnya, bukan?