Lain Sejarah Lain Sekarang

Sumber Foto: https://id.lovepik.com/image-501219313/guangji-temple.html

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

KETIKA berada di Tiongkok penulis dan rombongan mengunjungi kuil-kuil Budha yaitu Kuil Guanji dan Kuil Yonghe Lamasery. Kuil pertama menggunakan bahasa Mandarin yaitu bahasa nasional Tiongkok, sementara kuil kedua menggunakan bahasa Tibet. Kedua kuil yang sudah berusia ratusan tahun itu, memang berasal dari dinasti yang berbeda pula. Kuil pertama dibangun dalam masa pemerintahan Dinasti Tang dan diperluas pada masa Dinasti Ming (dalam bahasa Hokian di sebut Dinasti Cheng), sementara kuil kedua mulanya adalah istana tempat tinggal pangeran Yongzheng., setelah ia diangkat menjadi Kaisar Qing III, bangunan itu dijadikan kuil. Karena perbedaan itu pula, ketika menerima delegasi Indonesia di kuil pertama diadakan upacara penerimaan dengan berpidato, sedangkan kuil kedua tidak demikian.

Walaupun sama-sama beragama Budha, mereka tidak hanya berbeda dalam penggunaan bahasa, juga berbeda dalam liturgi. Persamaan hanya terletak pada beberapa hal saja, terutama dalam ketundukan kepada negara. Hal itu terlihat antara lain dengan kunjungan para pemimpin Tiongkok modern, seperti Mao Zedong, Zhou Enlai dan Deng Xiaoping yang semuanya menyatakan di hadapan publik sebagai tidak mengikuti agama tertentu, namun sebagai pejabat pemerintah mereka mengunjungi rumah-rumah peribadatan agama sebagai tindakan politik, untuk memperkuat kedudukan pemerintah pusat. Ini pula yang juga berlaku di negeri kita, termasuk ketika penulis masih menjadi Presiden RI. Penulis bersembahyang kedua hari raya di Masjid Istiqlal, sebenarnya sebagai langkah politis. Walaupun penulis juga menggunakan untuk benar-benar beribadah di hari-hari lain dan di tempat-tempat lain.

Sangat menarik untuk melihat perbedaan kuil itu dalam penampilan fisik walaupun fungsi politik mereka adalah satu sebagai pengemudi langkah-langkah para warga negara yang memeluk agama yang sama untuk tunduk kepada kepentingan negara. Karena itu, negara juga harus melindungi mereka walaupun tentu saja dengan anggaran belanja dan jumlah pengeluaran berbeda-beda.

Ini tentu tergantung kepada, antara lain, pandangan pemerintah atas pengetahuan tentang jumlah penganut suatu agama itu menjadi sangat penting. Seperti jumlah kaum muslimin di Tiongkok saat ini, yang oleh sejumlah pejabat negara dinyatakan ada 30 juta orang terutama berpusat di Provinsi Xinjiang. Sementara ada sejumlah orang yang menggangapnya ada sekitar 60 juta orang. Dalam percakapan demi percakapan, beberapa orang pemimpin menyatakan bahwa umat Budha di Tiongkok berjumlah sekitar 100 juta orang.

Dalam hal ini yang unik adalah apa yang dinyatakan oleh Kepala Biro Urusan Agama Nasional, bahwa lima agama benar-benar dilindungi dan ‘dibina oleh pemerintah pusat. Walaupun ia menyatakan bahwa ada kaum fundamentalis Budha di RRT dan melakukan tindakan-tindakan kekerasan (seperti membakar diri sendiri), tetapi secara keseluruhan berbagai agama itu memiliki para pemeluk ‘yang hidup damai dan saling menghargai. Demikian juga, antara para pemeluk berbagai agama dengan kaum tidak ber-Tuhan (atheis), yang memang sejalan dengan undang-undang dasar negeri itu dan dengan manifesto Partai Komunis Tingkok. Inilah hal sangat menarik yang penulis lihat di Tiongkok. Mungkin secara praktik kaum atheis tidak menghargai orang-orang beragama, seperti terjadi dibanyak tempat di dunia, namun pemerintah pusat di RRT saat ini memberikan penghormatan yang sama dalam teori.

Apa yang terjadi di Tiongkok itu, menunjukkan betapa besar daya tahan hidup (survival ability) dari agama-agama di dunia ini. Bahwa semua agama itu diperlukan pada saat-saat tertentu dan dalam kondisi berlainan, adalah kenyataan sejarah yang tidak dapat dibantah siapapun. Jika ‘fakta’ ini dilupakan, maka kehadiran berbagai negara menjadi dipertanyakan.

Ketika Adolf Hitler berkuasa di Jerman ia tidak memperhatikan hal ini, dan kita telah melihat apa yang kemudian menjadi ujung kehidupannya. Ia harus bunuh diri untuk menghindarkan ancaman hukuman gantung atau hukum tembak, seperti yang kita tahu akan menjadi ujung dari kehidupan Saddam Hussein di Irak. Dalam sejarah bangsa kita, hal ini juga pernah terjadi. Ketika Dyah Pitaloka putri Prabu Siliwangi dari ‘Tanah Sunda’, dalam perjalanan menuju Majapahit di Jawa Timur iapun di bunuh oleh orang-orangnya Mahapatih Gajah Mada di Bubat. Latar belakang kejadian ini bersifat politis.

Mahapatih Gajah Mada yang beragama Islam itu tentu tidak akan rela jika perkawinan antara ‘Putri Sunda’ itu dan Raja Majapahit Prabu Hayam Wuruk (juga dikenal sebagai Brawijaya III) berlangsung. Jika Dyah Pitaloka sempat melaksanakan upacara perkawinan di ibukota Majapahit, maka akan membuahkan ‘persekutuan politik-militer’ antara kaum Hindu Siliwangi dan kaum Hindu-Budha Majapahit.

Orang-orang Sunda dewasa ini tidak memahami hal itu dan menganggap kedua tokoh Majapahit tersebut bersikap menghina ‘orang Sunda’. Karena itu, di Jawa Barat (dan di Banten sekarang) tidak ada jalan bernama Hayam Wuruk atau Gajah Mada. Padahal, yang ‘bersalah’ dalam hal ini adalah Gajah Mada saja. Ketidakmengertian akan hal ini telah mengakibatkan ‘sikap sejarah’ yang tidak berdasarkan kenyataan. Kenyataan sejarah seperti ini menentukan kebijakan pemerintahan.

Karena itu, menjadi sangat penting untuk menyadarkan proses pengambilan keputusan pada aspek-aspek rasional dari hidup manusia. Bahwa di daratan Tiongkok para raja dan penguasa senantiasa menolak takhyul, berlandaskan pada kemampuan memandang segala sesuatu dari perkembangan keduniawian, dan bukannya hal-hal keakhiratan belaka. Sikap seperti itu, dalam artian menganggap pengetahuan empirik lebih dari pengetahuan spiritual, yang berlandaskan spekulasi dan takhyul, merupakan ciri utama budaya Tiongkok.

Yang menarik perhatian kita, ternyata pendirian empirik itu tidak mengurangi kebijakan pemerintah selama ribuan tahun, untuk melihat kenyataan secara non-empirik. Kebutuhan politik untuk memelihara stabilitas keadaan membuat pemerintah juga harus menyeimbangkan keadaan, dengan membiarkan berbagai agama mengembangkan spiritualitas masing-masing. Hanya dalam masa revolusi besar kebudayaan proletar (tahun 1966-1976) terjadi perkecualian.

Mao Zedong membiarkan terjadinya revolusi itu, tetapi segera para pemimpin Tiongkok kembali kepada keseimbangan lama, antara hal-hal spiritual dan apa yang bersifat empirik. Itulah sebabnya, sekarang ini di Tiongkok diperkenankan berkembangnya lima agama (Tao, Budha, Kristen, Katolik dan Islam), asal tidak menjurus kepada langkah-langkah politik. Memang sulit untuk membedakan mana yang politis dan mana yang tidak untuk menghilangkan itulah dilakukan berbagai macam hal, termasuk penunjukan kepala administrasi negara yang sepenuhnya untuk mengawasi agama-agama. Di sini juga terlihat, bahwa para pemimpin agama harus tunduk kepada para anggota Komite Sentral Partai Komunis Tiongkok (PKT). Komite inilah yang merupakan pengambil keputusan tertinggi di negeri itu, yang sekarang dipimpin oleh Ketua Hu Chien Tao (Hu Jintao), yang juga menjabat sebagai presiden.

Berdasarkan uraian di atas, kita dapat melihat bahwa sikap pemerintah dalam hal ini mendua. Di satu sisi, agama-agama yang lima itu diberi kemerdekaan, bergerak sangat luas asal tidak ikut-ikutan berpolitik. Di pihak lain, kekuasaaan yang sebenarnya tetap berada di lingkungan Sentral PKT. Namun, saat ini terlihat ada ‘kemajuan’ bila dibandingkan dengan masa lampau saat agama dianggap opium/madat bagi rakyat, sebagaimana menjadi keyakinan kaum komunis. Akankah Tiongkok mempertahankan ‘keseimbangan’ lama, antara hal-hal spiritual dan hal-hal materialistik? Inilah perkembangan yang sangat menarik yang kita belum tahu jawabannya saat ini. Tetapi, ia adalah bagian dari upaya melestarikan atau membuang sesuatu, yang sering terjadi dalam sejarah umat manusia bukan?