Krisis Multidimensi Segera Berakhir

Sumber Foto: https://masbagyo.net/2020/04/30/krisis-multidimensi-dampak-covid-19/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

KRISIS multidimensi yang kita alami, menurut beberapa orang ahli sudah menunjukkan tanda-tanda akan segera berakhir. Dalam hal ini, penulis bepegang kepada firman Allah: “Allah tidak akan menerapkan atas sebuah kaum apa yang mereka tidak kuat lakukan (Laa yukallifullahi nafsan illa wus’aha)“. Kalau bangsa dan negara lain dalam menghadapi krisis-multidimensi yang sedemikian itu, sudah tentu akan tercabik-cabik menjadi beberapa buah negara. Inilah yang menjadi kehendak berbagai pihak di dalam dan luar negeri atas bangsa kita. Tetapi ternyata hal ini tidak terjadi, sampai hari ini kita tetap menjadi bangsa dan negara yang satu, utuh. Kita dapat kembalikan kenyataan ini kepada berbagai hal, namun kesemuanya itu dikalahkan oleh kenyataan Allah tidak menghendaki kita terbagi-bagi menjadi beberapa negara. Namun, ada juga yang menganggapnya memang keadaan ini berproses demikian tanpa campur tangan Tuhan.

Berapa lama krisis multidimensi berlangsung? Tidak ada ukuran yang pasti. Namun, dalam dokumen-dokumen langit, kita dapat gunakan semacam perbandingan apa yang ada dalam kitab suci Al-Qur’an, yaitu krisis yang dialami Nabi Yusuf di Mesir ribuan tahun yang lalu, yang berlangsung sangat lama, yaitu sekitar tujuh tahun. Kalau kita gunakan (titik mula) tahun 1997, maka kita pun mengalami krisis multidimensi seperti itu, yaitu dalam kurun waktu tujuh tahun lamanya. Beberapa orang ahli telah melihat ada beberapa indikator-indikator obyektif bagi berakhirnya krisis itu Mulai masuknya investasi, mudik lebaran dengan begitu banyak kendaraan yang memenuhi jalan-jalan raya, dan lain-lain. Semua menunjukkan kepada permulaan berakhirnya krisis tersebut.

Memang, ada krisis yang hanya selesai dalam masa sangat lama, seperti krisis kepemimpinan dan krisis etika (seperti kejujuran dan sebagainya), sehingga kita tidak dapat mencapai tahap tertentu dalam bidang-bidang itu dengan cepat. Namun, sebagai bangsa dan negara, kita mulai ‘menggeliat’, bangun dari krisis berkepanjangan itu. Keyakinan ini menjadi sangat penting untuk membuat bangsa dan negara kita ‘menyadari’ hal ini. Hanya dengan kesadaran seperti ini kita akan maju dengan mewujudkan langkah-langkah yang menunjukkan berakhirnya krisis multi dimensi tersebut. Kesadaran itu akan menjadi ‘motor’ bagi berbagai upaya untuk melanjutkan langkah-langkah awal yang diperlukan untuk benar-benar mengatasi krisis itu. Di sini kita berhadapan dengan kenyataan akan pentingnya arti kesadaran bagi sebuah bangsa.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, akan berada di titik manakah bangsa negara kita setelah keseluruhan proses mengatasi krisis tersebut berlangsung? Akankah kita kembali menjadi bangsa negara bodoh, terbelakang, lemah dan miskin? Atau justru kita menjadi bangsa yang kuat dan negara yang besar, karena kita memiliki sumber-sumber alam yang kaya, letak geografis yang sangat strategis (antara benua Asia dan benua Australia), serta penduduk sangat besar (205-208 juta jiwa)? Tapi pada saat ini hanya lautan yang dapat ‘dikembangkan’ secara penuh, karena kekayaan hutan dan hasil-hasil pertambangan dibuat ‘kacau balau’ oleh pemerintahan Orde Baru dengan berbagai bentuk penipuan dan manipulasinya.

Demikian pula pemberitaan kita akan beberapa hal harus diubah dan dijadikan pemberitaan obyektif yang kita perlukan untuk masa depan. Pengertian swasembada beras yang kita anut selama ini harus diperluas, bukannya membuat produksi besar untuk pasaran dunia, melainkan secukupnya bagi kebutuhan makan kita dengan jumlah areal sawah sekadar untuk keperluan itu. Selebihnya, areal yang ada kita tanami dengan hasil-hasil pertanian yang diarahkan kepada peningkatan agribisnis yang memungkinkan kita menghasilkan produk ekspor bernilai lebih besar dibandingkan apa yang kita capai di masa lampau. Walaupun ini memerlukan peningkatan berbagai bidang dan untuk meraihnya sangat sulit, tetapi disiplin bangsa kita masih dapat membuat kita berbuat demikian. Memang diperlukan kepemimpinan yang mampu membuat bangsa ini maju, tetapi hal itu bukanlah sesuatu yang mustahil.

Tentu saja hal-hal yang diuraikan di atas menimbulkan beberapa pertanyaan. Jenis pembangunan ekonomi apakah yang akan kita gunakan? Adakah ‘kebodohan’ bangsa kita dalam pengembangan sumber daya manusia (SDM) memungkinkan kita mencapai “kemajuan” yang diharapkan? Kedua pertanyaan tersebut dapat dijawab sebagai berikut.

Penulis sering mengemukakan secara lisan kepada berbagai pihak dalam dan luar negeri. Ada tiga buah prinsip utama dan orientasi atau arah gerak ekonomis yang ingin penulis laksanakan. Prinsip-prinsip utama itu adalah persaingan kompetisi bebas dalam usaha, penggunaan berbagai ketentuan secara efisien yang rasional dan keinginan tetap berada di lingkungan kerangka perdagangan internasional yang bebas (artinya, kita tidak akan keluar dari Bank Dunia, Dana Moneter Internasional/IME, Organisasi Perdagangan Internasional/WTO dan sebagainya). Tetapi, pemerintah harus mengembangkan orientasi kebijakan dasar ekonomi kepada penciptaan kredit murah — sekitar 5-6% setahun — bagi kepentingan usaha kecil dan menengah (UKM).

Tentu saja diperlukan kebijakan-kebijakan lain untuk dilaksanakan, baik untuk persyaratan maupun sebagai pelaksanaan perincian tindakan-tindakan membangkitkan kembali perekonomian kita yang selama beberapa tahun dibuat kacau balau oleh banyak hal. Penghapusan KKN tidak hanya melalui tindakan-tindakan represif, melainkan juga dengan ‘memecahkan’ sebab-sebab hakikinya, yaitu rendahnya penghasilan pegawai negeri sipil dan militer (PNSM) dan kaum pensiunan/purnawirawan. Proyeksi peningkatan penghasilan formal sepuluh kali lipat dalam masa tiga tahun adalah contoh kebijakan yang bisa dilakukan. Darimanakah diperoleh dana untuk keperluan itu? Dengan menata kembali penggunaaan berbagai sumber yang digunakan secara salah (seperti penyelundupan kayu, pengurasan kekayaan laut dan memperbanyak eksplorasi minyak bumi-gas alam yang kita miliki) selama ini, Sangat ironis, BBM dan gas alam kita ijon-kan pada pihak-pihak lain di luar negeri dengan harga murah, tetapi kita beli kembali dalam bentuk minyak jadi dari kilang-kilang di luar negeri dengan harga pasaran dunia yang sangat mahal.

Sanggupkah kita melakukan perubahan-perubahan di atas, mengingat segala macam keterbatasan dan salah urus (mismanagement), yang kita lakukan di masa lampau dan mengakibatkan kita sekarang memiliki ekonomi-berbiaya tinggi (high cost economy)? Tentu saja kita dapat melakukan hal itu, karena para aktivis di berbagai bidang telah lama berbicara tentang cara-cara melakukan koreksi. Hanya saja, sistem politik kita yang tidak adil dan hanya mementingkan para penguasa saja dengan mengabaikan kepentingan hakiki rakyat — cenderung mempertahankan status quo yang ada, sehingga tidak memberikan tempat bagi pengambilan kebijakan yang tidak merugikan rakyat. Kalau saja ada kepemimpinan yang berani melakukan koreksi, berpikir menciptakan sistem politik baru yang adil, tentu bangsa kita dapat melakukan tindakan-tindakan yang disebutkan di atas.

Kita tidak mengharapkan hal itu akan terjadi dengan mudah, tetapi kita mempunyai pemimpin-pemimpin seperti itu yang di masa datang akan mampu menciptakan dan ‘menjual’ gagasan-gagasan perubahan sistem politik kita. Inilah yang harus menjadikan kita bangsa yang optimis akan masa depan, karena alternatifnya adalah disintegrasi bangsa dan negara, kita menjadi satuan-satuan kecil yang tidak bermakna. Berarti kita akan menjadi gugusan bangsa dan negara kecil, lemah, yang merupakan pasaran bagi barang-barang dari banyak negara lain. Kita akan menjadi bangsa pemakai, dan tidak menjadi produsen yang memiliki independensi yang berdiri di atas landasan kokoh berupa keadilan dan kemakmuran. Ini adalah proses seleksi yang biasa terjadi dalam sejarah manusia, bukan?