Mengerti Berbeda Dari Mengetahui

Sumber Foto: https://www.inilah.com/salah-paham-dan-paham-salah

Oleh: K.H Abdurrahman Wahid

PADA akhir tahun 2003, penulis diundang ke Beirut, Lebanon, untuk mengikuti Rapat Kerja Regional Timur Tengah yang diadakan oleh Lebanese Institute for Economic and Social Development dan The Centre Lebret yang diikuti oleh sekitar 30 orang peserta dari seluruh kawasan Timur Tengah. Ketika penulis selesai memaparkan sebab-sebab adanya terorisme dari sudut pandangan Islam, kemudian diadakanlah tanya jawab. Pada waktu akhir penyampaian pandangan, ada seorang ibu dari Turki bertanya tentang sesuatu hal yang sangat menarik.

Ibu yang bernama Dr Saliha Scheinhardt Sapcioglu, yang banyak menulis untuk media Jerman secara luas, menyatakan ia tinggal di sebuah kota kecil bernama Sivas, Turki sudah 11 tahun lamanya. Ia tidak berani kembali lagi ke Jerman, tempat di mana ia dididik dan kemudian bekerja untuk belasan tahun lamanya. Mengapa? Karena ia takut untuk menjawab sebuah pertanyaan. Pertanyaan itu adalah, jika ia menyatakan bahwa Islam adalah agama toleran, ia akan ditanyai mengapa pada tahun 1993 lalu ada tindakan yang sangat mengerikan terjadi di Sivas yang mengakibatkan kematian 30-an orang intelektual Turki?

Ia menceritakan kesaksiannya, ketika menghadiri sebuah seminar di kota itu, di tengah acara ia meninggalkan forum untuk membeli pasta gigi di sebuah pasar swalayan di depan hotel. Di tempat itulah ia menyaksikan seorang mubaligh setempat ‘memerintahkan’ penduduk untuk mengepung dan membakar hotel. Mengapa? Karena ada seminar di hotel itu yang membahas mengapa Turki harus memilih sebagai negara sekuler, mereka harus ‘dihukum’ untuk pikiran-pikiran seperti itu. Pendapat seperti itu menurutnya tidak layak menjadi pandangan kaum muslimin. Sebagai akibat dibakarnya hotel, lift tidak dapat berjalan, dan para intelektual Turki yang berjumlah puluhan orang mati terbakar dalam peristiwa tersebut.

Ia berkata, “Bagaimana saya akan dapat mengatakan kepada media Jerman, bahwa Islam adalah agama yang toleran kalau berbeda pandangan saja, orang mati dibakar karenanya? Hal inilah yang membuat saya tidak berani kembali ke Jerman, dan menulis saja dari Turki untuk media di negeri tersebut, secara luas. Bagaimana saya dapat berbicara dan menulis untuk media non-muslim, tentang Islam sebagai agama toleran, kalau hal itu ternyata tidak benar? Walaupun seluruh karya tulis saya menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang toleran, saya tidak berani menggunakan kata itu, atau mengemukakan hal seperti itu. Saya lalu menjalani ‘pengasingan diri’ dari tempat saya semula hidup selama puluhan tahun.”

Penulis belum pernah menghadapi pertanyaan seperti itu. Karena itu, penulis memberikan jawaban yang mungkin sesuai atau tidak dengan pertanyaan yang diajukan. Kalau jawaban penulis itu dianggap memadai, tentu karena ‘kebetulan’ saja. Ternyata hal itulah yang terjadi, dan kolumnis perempuan Turki itu meninggalkan tempat duduknya, untuk kemudian mendekati penulis yang duduk di kursi pembicara. Di tempat itu, ia melakukan sesuatu yang membuat penulis terpana diam di tempat. Para peserta lain dan moderator juga demikian. Apa yang dilakukannya? Ia mencium lutut kanan penulis, untuk menyatakan kegirangan atas jawaban penulis.

Penulis berjanji kepada diri sendiri, sewaktu-waktu akan mengundang orang itu ke Indonesia, untuk melihat bagaimana gerakan-gerakan Islam di negeri ini juga dihadapkan kepada masalah yang sama. Toleransi dan terorisme hidup bersama di sebuah negeri.

Jawaban penulis pada waktu itu, intinya hanya minta agar kolomnis tersebut memahami bahwa dalam sejarahnya yang panjang, Islam membedakan tindakan ‘mengetahui’ (to know) dengan kemampuan ‘mengerti’ (to understand). Dengan ‘mengetahui orang menjadi pandai (arif), sedangkan ‘mengerti’ atau ‘memahami’ (alim) memerlukan sikap empati kepada persoalan yang dihadapi. Kalau orang mengetahui belum tentu ia mengerti, dan demikian pula sebaliknya. Inilah yang harus dimengerti oleh ibu dari Turki tersebut. Mubaligh lokal itu bertindak demikian karena tidak mengerti bahwa tindakan memerintahkan pembakaran hotel tidak menyelesaikan permasalahan. Persoalannya ia tahu adanya perbedaan pandangan, namun hanya ‘diselesaikan’ melalui sikap membiarkan saja hal itu, sehingga menjadi duri dalam daging dalam kaum muslimin.

Sekarang ini banyak orang bertanya, sudah siapkah bangsa-bangsa yang kebanyakan penduduknya adalah orang-orang bodoh untuk memahami demokrasi? Pertanyaan ini lebih terasa relevansinya jika diingat bahwa ‘demokrasi’ seperti di negeri kita adalah ‘kemewahan politik’ yang sangat mahal harganya. Kerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bertindak secara arogan, ternyata hanya melahirkan sistem politik yang timpang. Hasilnya lahir legislatif yang amburadul, pihak eksekutifnya dikuasai ‘golongan kanan’, dan badan-badan yudikatifnya tidak berfungsi baik (karena pada umumnya masih dikuasai oleh mafia peradilan), adalah ‘bukti nyata’ dari ketidaksiapan bangsa ini untuk menerapkan sistem politik yang demokratis.

Ini adalah kenyataan yang tidak diingkari oleh siapapun dan karena itu menimbulkan pertanyaan di atas, yang perlu dijawab melalui tulisan ini. Di sinilah kita perlu melihat adanya perbedaan antara mengetahui dan mengerti. Walaupun penduduk Indonesia rata-rata memiliki taraf pendidikan yang sangat rendah, tetapi cukup banyak sarjana-sarjana (baik dari Strata 1, 2 atau 3) lahir di negeri kita. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa mereka memiliki pengetahuan cukup mendalam tentang berbagai aspek kehidupan kita sendiri sebagai bangsa. Bahwa pelabuhan-pelabuhan kita masih beroperasi, lapangan-lapangan terbang kita masih menerima kedatangan serta melepas berbagai jenis pesawat terbang, di stasiun-stasiun kereta api masih berjalan di atas relnya, menunjukkan bahwa bangsa ini cukup mengetahui apa yang menjadi tugas-tugasnya dalam kehidupan bermasyarakat. Tetapi ternyata, kelambatan berbagai jadwal kendaraan-kendaraan umum itu, menunjukkan bahwa kita belum mengerti bagaimana harus mengatur kesemuanya itu.

Suryadi Sudirdja, mantan Menteri Dalam Negeri kita pernah mengatakan kepada penulis, bahwa ketika menjalani pendidikan di Sekolah Komando Gabungan (Skogab) di Perancis beberapa tahun yang lalu, ia mempunyai seorang teman Perwira Angkatan Darat Perancis yang tinggal di sebuah tempat sekitar 200 kilometer dari Paris. Walau ia setiap hari naik kereta api ke sebuah stasiun di dekat sekolah tersebut, ia tidak pernah terlambat, karena begitu teratur dan tepat perjalanan kereta api itu. Apakah artinya ini? Tidak lain tidak kurang adalah kemampuan pihak kereta api di Perancis yang dengan kereta api sangat cepatnya (train a grand vitesse/TGV) mampu menyelenggarakan perjalanan sangat teratur dari hari ke hari. Tentu dasar dari semua itu adalah kemampuan mengetahui dan mengerti penggunaanya sehari-hari. Ini adalah proses sejarah yang obyektif saat ini, bukan?