Fahmi D. Saifuddin dan Keterikatannya pada NU

Sumber Foto: https://fuadnasar.wordpress.com/2017/09/14/mozaik-inspirasi-tokoh-fahmi-d-saifuddin-sangat-menghargai-silaturahim/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

• Ketua Umum PBNU 1984-1999

• Presiden ke-4 RI

Siapapun yang mengenal Fahmi D. Saifuddin, baik di lingkungan profesi maupun pergerakan, tentulah mengetahui betapa lurusnya orang ini. Penulis tidak mengenalnya dari segi profesi, baik sebagai dosen, mantan Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, maupun di bidang kedokteran. Penulis hanya mengenal Fahmi, demikian penulis memanggilnya, di lingkungan organisasi Nahdlatul Ulama (NU), karena ia bersama penulis selama 10 tahun sama-sama menjadi aktivisnya. Dari sisi kedudukannya sebagai aktivis PBNU inilah penulis ingin mengenang Fahmi, dan itu banyak menimbulkan kenang-kenangan indah akan kiprah bersama dalam kegiatan-kegiatan di bidang tersebut.

Untuk dapat mengenal Fahmi, kita harus memahami lebih dulu latar belakangnya, karena tanpa pemahaman tersebut, ia akan menjadi sosok karikatural yang sering dicemooh orang di jaman ini. Demikian kuatnya pengaruh diri sebagai aktivis tersebut pada jalan hidupnya, seringkali penulis bertanya dalam hati; pernahkah ia memikirkan masa depan dirinya dan keluarganya? Banyak sekali hal-hal yang tadinya akan dipikulkan ke pundaknya, karena satu dan lain hal, menjadi batal dibebankan kepada sosok aktivis ini. Tetapi kemudian ternyata, hal-hal yang tidak jadi dibebankan ke atas pundaknya itu, dijalankannya sendiri dengan suka rela dan tanpa permintaan siapapun. Pada suatu hari, ia datang ke rumah penulis dan mengajak ke suatu acara NU di Tanjung Priok pada jam 01.00 wib dini hari. Kepadanya penulis menyatakan, kalau sebelum jam 12.00 malam, orang memikirkan NU karena gila kepada organisasi keagamaan itu, tetapi lebih dari jam 12.00 malam, itu tandanya orang NU gila. Ia marah pada penulis karena pernyataan itu, tetapi dalam marahnya pun ia tetap halus, sangat sopan dan memilih kata-kata yang digunakannya dengan sangat hati-hati.

Begitu besar keterikatannya pada NU, itu disebabkan oleh latar belakang keluarga dan pendidikannya di pesantren. Ayahnya, KH. Saifuddin Zuhri adalah tokoh NU yang pernah menjadi menteri agama, dan hampir seluruh hidupnya didarmabaktikan kepada NU. Tokoh seperti itulah yang senantiasa menganggap kepentingan negara sebagai kepentingan NU, dan begitu sebaliknya. Sama halnya dengan ungkapan Charlie “Engine” Wilson, mantan Dirut General Motors dan belakangan menjadi menteri pertahanan Amerika Serikat, bahwa “what’s good for general motors is good for the country” (apa yang baik untuk General Motors, baik juga untuk negeri), tampaknya juga dipegang teguh oleh beliau. Fahmi juga demikian, apa yang dianggapnya baik untuk NU, tentu juga baik untuk negara kita. Kita boleh saja menganggap pendapat ini sebagai terlalu sesisi, tetapi jelas pendapat itu diwariskan ayahnya kepada Fahmi.

***

Salah satu hal yang sangat menonjol dalam mengikuti pandangan Fahmi adalah anggapannya bahwa semua orang memiliki motif yang sama dalam keterikatan kepada NU. Karena ia tidak pernah berpikir untuk menggunakan NU sebagai jembatan ke arah karier lebih gemilang, dianggapnya semua orang yang berkiprah di NU juga memiliki motivasi yang sama. Ini juga berarti ia menganggap sama keikhlasan hati semua orang kepada NU. Tidak pernah masuk di pikirannya, ada orang memperalat NU untuk kepentingan pribadi dan untuk tujuan berjangka pendek. Ini berarti ia menjadi sangat naif dalam percaturan internal NU sendiri, dan ini membuat dirinya merasa “kasihan” kepada sesama orang-orang NU. Ketika penulis meneruskan jalannya sendiri dan menolak anggapannya itu, cukup lama penulis tersiksa oleh kesalahpahamannya itu. Penulis cinta kepada NU sebagai wadah perjuangan, tetapi dalam anggapannya orang-orang NU justru harus mengalahkan kepentingan pribadi di hadapan kepentingan bersama di atas. Kalau penulis cukup lama tersiksa oleh hal ini, dapat dibayangkan betapa lebih tersiksanya Fahmi di dalam hati.

Sebagai seorang pejuang yang dengan gigih membina organisasi NU dalam segala keadaan, Fahmi telah menunjukkan kualitas dirinya sebagai manusia yang dapat bergerak di beberapa bidang yang berlainan, dengan tidak memiliki kontradiksi cara hidup seperti yang dijalani orang lain. Di matanya, seorang pesuruh di lingkungan NU, seperti pegawai sekretariat PBNU A. Somad, memiliki bobot yang sama dibandingkan dengan para anggota PBNU sendiri. Egalitarianisme ini justru menilai keterlibatan pada organisasi sebagai persyaratan utama dalam menempuh hidup (conditio sine qua non) sering membuat Fahmi mengorbankan diri menolong orang lain untuk hal-hal yang remeh. Tetapi, justru dari sinilah kita dapat mengukur komitmennya yang sangat besar pada NU. Apa yang dinyatakan oleh Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy, yaitu “ask what you can do for the country, not what the country can do for you” (tanyakan apa yang dapat kau lakukan untuk negerimu, bukannya apa yang dapat diperbuat negerimu untuk dirimu), tampaknya berlaku dalam hubungan antara NU dan para warganya, khususnya dalam pandangan Fahmi.

Tentu ini adalah tinjauan yang sangat menyederhanakan pandangan Fahmi, tetapi rasanya tidak meleset dari gambaran betapa besar cintanya Fahmi dan ayahnya terhadap NU, dan dapatlah dengan mudah dikatakan bahwa keseluruhan tilikan kedua tokoh itu atas hubungan NU dan para warganya adalah seperti yang dikemukakan di atas. Banyak cara dapat dipakai untuk mengukur “kedekatan” Fahmi kepada NU, tetapi penulis berpendapat, apa yang dikemukakan di atas merupakan tilikan tepat atas kepribadian Fahmi. Hal inilah yang sering kita lupakan dalam meneropong hubungan antara NU dan para pengikutnya. Tinjauan pribadi ini sangat diperlukan untuk mengenal sosok kepribadian seorang aktivis, seperti Fahmi.

***

Keterkaitan seperti itulah yang membuat Fahmi aktif mengerjakan hal-hal yang menyangkut organisasi NU, bahkan kalau perlu dengan mengorbankan dirinya. Betapa besarnya kekecewaan hati yang dirasakannya dalam melihat perilaku banyak sekali warga NU yang hanya berpikir tentang kepentingan sendiri, kalau perlu dengan menginjak-injak kepentingan umum. Tetapi, justru di sinilah terletak kebesaran Fahmi; ia tidak pernah membicarakan orang lain di lingkungan NU, karena ia meyakini perbedaan yang ada dengan orang-orang itu sebagai kunci pemecahan masalah. Menyadari kenyataan akan pentingnya hal ini dalam menilai watak Fahmi, kita justru harus mengacungkan jempol atas pengabdiannya di lingkungan NU, yang penulis rasa juga menjadi sikapnya di bidang-bidang lain melalui pengabdian profesionalnya.

Tanpa mengerti watak Fahmi yang seperti itu, tidak mungkin rasanya kita pahami garis besar kehidupan manusia ini, yang juga berarti kita tidak bisa memahami kehebatannya. Dalam hal ini, penulis dapat kemukakan sebuah contoh, yang penulis singgung dalam makalahnya, yang pernah dimuat majalah TEMPO. Pada suatu malam, penulis dan Fahmi berkendaraan mobil dengan kecepatan tinggi di kawasan Kuningan, Jakarta. Tiba-tiba Fahmi menghentikan mobil yang dikendarainya itu, karena lampu merah menyala. Penulis menanyakan mengapa demikian, karena menjelang tengah malam di kawasan itu toh tidak ada orang menyeberang. Jawabnya sangat memukau, “Kalau kita saja yang dianggap pemimpin oleh masyarakat, melanggar lampu merah, bagaimana kita dapat mengajari masyarakat untuk selalu patuh dengan peraturan.”

Penulis merasa bangga dengan putra NU yang seorang ini, yang sanggup melihat aspek-aspek kolektif dalam “perilaku orang NU”. Dan beruntunglah kita semua atas peranan Fahmi itu, yang menunjukkan kepada kita semua perlunya konsistensi dalam berperilaku apabila mengelola kepentingan umum. Tokoh-tokoh berbobot semacam inilah yang harus kita gali kehidupannya, seperti tokoh besar kita, Fahmi D. Saifuddin. Al-Nabighah menyatakan dalam sebuah sajak “walakinnani kuntum ro’an lia jaanibun, min al-ardhi fühi mustaraddin maa ataituhum, ukhakkamu fii amwaalihim wa uqarrabu” (tetapi aku adalah orang yang didukung orang lain, yang menjadi tempat pelarian di bumi ini serta dimintai pertimbangan; raja-raja dan saudara-saudara kalau aku kunjungi mereka, aku dimintai pertimbangan tentang harta benda mereka dan aku senantiasa didekati mereka). Tokoh kita inipun demikian juga halnya, dan penulis merasa bangga dekat dengan dirinya, baik sebagai ipar maupun sebagai kawan seperjuangan.